Sabtu, 08 Maret 2008

Manusia, Bahasa dan Al Qur'an #1: Aha Eureka! Bahasa Ciri Pembeda Utama Antara Manusia dengan Hewan


Ketika Charles Darwin menuangkan teori dalam bukunya Descent of Man, and Selection in Relation to Sex pada 1871 atau 137 tahun yang lalu, gemparlah dunia ilmu pengetahuan karena beliau menyatakan bahwa melalui evolusi, manusia merupakan keturunan kera meski beliau mengakui ada "missing link" antara manusia dan kera dan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut.
Apakah benar manusia meruakan keturunan kera?
Jawaban akan hal ini telah menjadi perdebatan hebat tidak hanya di kalangan ilmuwan tetapi juga merambah di kalangan agamawan. Mengapa demikian? Menurut pandangan agamawan adalah sebuah penghinaan terhadap kodrat manusia apabila manusia keturunan kera. Anda dan terutama para Nabi-yang merupakan manusia pilihan Tuhan dan manusia istimewa di antara nmanusia umum lainnya- tidak lain "hanyalah" keturunan kera yang berevolusi menjadi makhluk lain: manusia.

Pandangan Islam tentang bantahan akan teori ini merujuk ke Al Qur'an bahwa manusia diciptakan dari jenis kita sendiri atau bahasa biologinya genus sendiri: Homo sapiens. Lihat surat 42:11.
Dan juga manusia adalah makhluk sempurna (95:4) dan juga makhluk yang diberi mandat untuk mengatur dunia dan seisinya atau khalifah (2:30). Dengan kata lain, kera termasuk bagian dari makhluk yang diatur oleh kita, manusia.
Teori Darwin telah dibangun di atas teori filsafat positivisme. Keith Ward (1996) mengatakan bahwa klaim-klaim ala Darwin merupakan hukum alam. Dan Tuhan, dalam hal ini, tidak dibutuhkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Darwin berbasis anti Tuhan atau atheis.
Membantah teori Darwin ini dapat ditelusiri dari ilmu bahasa (linguistik). Menurut Hocket, salah satu pakar di linguistik, ada 16 ciri pembeda antara bahasa manusia dan bahasa binatang, terutama kera (Nababan, 1992). Salah satu dari ciri tersebut adalah dualisme struktural. Dualisme ini terdiri dari suara (phone) dan simbol dari suara tersebut. Dan keduanya ini tidak terpisahkan.

Ahli Biologi Johannes Von Uexkull mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem simbol adalah mata rantai ketiga yang hanya ditemukan pada manusia. Sedangkan mata rantai yang lain yaitu sistem repstor dan efektor terdapat pada hewan dan manusia. Dengan mata rantai ketiga ini maka manusia hidup dalam dimensi baru dan luas. Sehingga tepatlah manusia disebut sebagai makhluk pembuat dan penafsir simbol (Pasiak, 2002)
Menurut linguist yang lain, Noam Chomsky, manusia pada fitrahnya dilengkapi dengan kemampuan berbahasa. Kemampuan ini ada secara otensial dimiliki oleh manusia di otaknya. Chomsy menyebutnya dengan istilah Language Acquisition Device (LAD) atau diterjemahkan secara bebas alat berbahasa. Dan menurut para peneliti dari Unversitas Oxforrd dan Unit Pengembangan Kognitif Ilmu Syaraf di Institute of Child Health di London, manusia memiliki gen bahasa yang dibri nama FOXP2 yang berperan dalam pengaturan bahasa manusia (Pasiak 2002).

Dengan demikian gejala bahasa manusia bukanlah sebuah kebetulan. Hal ini perlu ditekankan karena kata kebetulan ini menjadi tolok ide teori evolusi Darwin.
Dengan LAD tadi, setiap manusia yang lahir berpotensi untuk berbahasa apa saja di dunia ini. Sebuah kemampuan hebat yang tidak dimiliki oleh hewan apapun yang ada, termasuk kera.

Dalam tafsir Al Azhar, ayat 4 dalam surat Ar Rahman, kata al bayan merupakan identitas dari manusia. Mengapa demikian? karena pada ayat ke-3 manusia diciptakan lalu disambung ke ayat 4 tanpa kata penghubung wa yang artinya dan, tetapi langsung tersambung dari ayat ke-3 dan ke-4. Ini menandakan bahwa bahasa merupakan hal istimewa dan begitu penting yang merupakan ciri melekat dari manusia. Tentu al bayan yang dimaksud adalah berbahasa yang bercirikan esoterik atau keindahan seni berbahasa tanpa terlepas dari gramatika yang benar.


Kemampuan al bayan ini dimulai ketika indra pendengar mulai berfungsi semenjak di dalam kandungan ibu kita. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan ada teori menggunakan musik instrumen ala Beethoven atau karya lain untuk ibu hamil. Alasannya, untuk merangsang kecerdasqan semenjak dini. Hal ini juga penulis terapkan. Sebagai seorang muslim, penulis menggunakan murottal Al Qur'an untuk anak penulis semenjak ia di dalam masa kandungan empat bulan hingga lahir. Efeknya? Luar biasa. Anak penulis cepat menangkap sesuatu apa yang ia dengar. Penulis percaya pada teori dari barat tersebut hanya saja penulis menggantikannya dengan lebih baik, lantunan Al Qur'an dari suara Muammar Z.A.

Kemampuan mendengar semenjak dini ini disunnahkan dalam Islam untuk mengazankan setiap anak bayi yang baru lahir. Mengapa demikian? Karena indra pendengar adalah indra vital untuk berbahasa. Diharapkan dengan mendengar kalimat thoyyibah maka bayi tersebut akan menjadi cikal bakal anak sholeh.

Dan dalam linguistik ada sebuah aksioma yaitu apabila seseorang kehilangan kemampuan pendengarannya semenjak ia dilahirkan, maka ia kehilangan kemampuan berbicara (berbahasa) pula. Karena ia tidak memiliki input berupa suara maka ia tidak mungkin dapat menyuarakan apa yang ia tidak mendengarkannya. Kata lain ia pasti bisu.
Sebuah cerita yang tepat untuk menggamparkan ini adalah cerita fiksi tokoh Tarzan karya Edgar Rice Burroughs.

Dalam cerita tersebut, dengan cerdas, Edgar Rice Burroughs menggambarkan jika manusia semenjak bai tidak pernah berbahasa manusia hingga dewasa maka ia tidak dapat berbahasa apapun sama sekali kecuali bahasa hewan. Cerita tarzan sejatinya mengkritik gaya hidup orang inggris yang sok aristokrat yang apabila ia hidup dan lahir tanpa manusia lain ia "hanyalah" seokar manusia-kera. Sebuah cerita kritik yang tepat dan sangat ilmiah!

Akhirnya, tanpa bahasa manusia hanyalah salah satu makhluk yang menjadi rendah derajatnya. Dengan bahasa, Allah mengangkat derajat manusia. Dan dengan bahasa pula Allah berkomunikasi dengan manusia lewat bahasa melalui kitab suci-Nya agar Ia dapat diketahui oleh manusia bahwa Ia Maha Kuasa dan Maha Esa. Wallahu'alam bishowab!
Bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar: