Jumat, 27 Agustus 2010

SEHARUSNYA ERA DIGITAL ADALAH ERA TAUHID

Artikel ini sejatinya masih terkait dengan artikel sebelumnya yaitu Matematika dan Tauhid, sebuah mata rantai yang terputus. Penulis sengaja memisahkan artikel ini dengan sebelumnya agar dua topic menarik ini dapat diserap secara baik oleh pembaca yang budiman.

Ketika Anda membaca judul artikel ini tentu Anda bertanya apa hubungannya antara kata digital dengan tauhid. Hubungan digital dan tauhid dalam paparan artikel ini sangatlah erat dan tentu selesai Anda membaca artikel ini boleh jadi Anda tercengang.

Sebelum kita menuju pembahasan, ada baiknya Anda mengetahui istilah dari kata digital. Menurut Kamus Oxford Advanced Learner's Dictionary 7th Edition kata digital adalah using a system of receiving and sending information as a series of the numbers one and zero, showing that an electronic signal is there or is not there. Dari definisi di atas terdapat kalimat the numbers one and zero yang berarti angka 1 (satu) dan 0 (nol). Kedua angka inilah dalam istilah lain disebut binary yang dalam kamus yang sama memiliki definisi using only 0 and 1 as a system of numbers .

Era digital adalah era penggunaan angka 1 dan 0 dalam teknologi. Dan ini, jika Anda telah membaca artikel penulis sebelumnya Matematika . . . maka Anda tidaklah mengherankan jika Anda setuju dengan saya bahwa era digital adalah era Tauhid. Benarkah demikian?

Mari kita tinjau bersama untuk hal ini.

Seperti yang penulis sampaikan sebelumnya bahwa matematika sejatinya sangatlah bernilai tauhid dan ini langsung diajarkan oleh Allah kepada Nabi Adam. Konsep tunggal atau dinotasikan dengan angka satu merupakan konsep Tuhan yang Tunggal Mutlak yaitu Allah SWT. Kini dalam era digital ini konsep tauhid semakin terkukuhkan bahwa memang Allah SWT meliputi segala hal. Hasil karya era digital telah banyak menghasilkan teknologi canggih. Dengan bahasa sederhana sejatinya era digital membawa manusia ke era tauhid yaitu beriman kepada Allah SWT yang esa atau tunggal atau 1.

Jika digital dinotasikan dengan angka 1 dan 0, maka pertanyaannya adalah dimana era ini terkait dengan tauhid?

Pembaca yang budiman, sebelum pertanyaan di atas dijawab ada baiknya terlebih dahulu kita tinjau angka 0.

Angka 0 yang dinotasikan berupa bangunan bola atau lingkaran atau dalam bahasa Inggrisnya disebut sphere merupakan angka yang unik. Disebut unik karena angka 0 bukanlah negatif atau positif(baca selengkapnya di http://en.wikipedia.org/wiki/Zero ). Angka 0 yang disimbolkan dalam bentuk sphere juga menunjukkan "kesempurnaan bangunan" dalam ilmu geometri. Baca selengkapnya di http://en.wikipedia.org/wiki/Sphere

Kini mari saya bawa Anda ke matematika ala tauhid.

Angka 1 merupakan symbol dari keberadaan Allah SWT yang memang mutlak esa. Dan ini inti dari tauhid. Sementara angka 0 merupakan simbol dari sifat Allah SWT yang menunjukkan kesempurnaan Allah yang dalam Asmaul Husna. Seperti kita ketahui Asmaul Husna ada 99 nama. Dan ini bukan terbatas pada 99 nama saja, hanya Allah menyukai angka ganjil dan 99 hanyalah simbol tak terhingganya kekuasaan-Nya. Dari mana ketak terhingga ini didapatkan?

Jika angka 0 merupakan simbol sifat Allah, dan Asmaul Husna yang berjumlah 99 itu tiada lain adalah sifat Allah maka didapatkan 0 pangkat 99 yang menunjukkan ketak terhingga.

Dan seperti kita ketahui bahwa angka 10 merupakan angka sempurna. Begitupun angka 100 merupakan angka sempurna. Berapapun angka 0 di belakang dengan angka 1 di depan maka angka tersebut adalah angka sempurna. Dapat dibayangkan jika angka 0 ada 99 dengan angka 1 di depannya. Tiada kesempurnaan yang dapat menandingi angka tersebut. Ingat, angka 0 yang berjumlah 99 hanyalah menunjukkan begitu banyak sifat Allah dan bukan berarti terbatas hanya 99 saja.

Dari apa yang dipaparkan di atas, perpaduan antara 1 dan 0 atau sImbol eksistensi Allah dan sifatnya menunjukkan sebuah kesempurnaan yang maha sempurna. Tiada yang lain.

Kesimpulan awal adalah era digital yang menggunakan angka 1 dan 0 sebagai penanda era digital merupakan era tauhid. Tetapi cukupkah dikatakan demikian? Jika kita melihat apa yang dihasilkan dari era digital maka hal ini memiriskan hati karena era digital yang kita lihat bersama masih jauh dikaitkan dengan tauhid. Sebut saja yang sederhana penggunaan komputer. Berapa banyak di antara kita menggunakan komputer untuk menambah keimanan dan kekuatan tauhidnya. Jika kita tengok warnet-warnet yang ada, maka banyak umat Islam menggunakan komputer sebatas hiburan baik melalui chatting atau main game yang tiada manfaat untuk menambah imannya.

Belum lagi video mesum yang diunduh lalu disimpan di ponsel, era digital yang ada tampak masih jauh dari tauhid. Meski dalam beberapa hal sudah ada hasil teknologi digital yang mulai menunjang keimanan katakanlah software pendukung yang ditanam di ponsel untk mencari arah kiblat, lantunan azan sebagai pengingat sholat atau mp3 Al Quran dalam bentuk digital, tetapi jika melihat secara keseluruhan era digital masih dan harus terus dibawa ke arah tauhid.

Sebuah keniscayaan bahwa era digital merupakan era tauhid mengingat Allah berfirman dalam surat ke-41 ayat 53:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ

الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ [٤١:٥٣]

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?


 

Sungguh, ayat di atas begitu dahsyat bagi siapa saja yang beriman maupun yang tidak beriman. Karena Allah sedang dan akan terus menunjukkan kebenaran Al Quran dan Nabi-Nya bahwa memang Islam itu benar adanya. Dan digital benar adanya menunjukkan kebenaran tauhid akan angka 1 dan 0. Allah Maha Benar dan Esa dengan mengunci mati angka 1 sebagai makna satu dan bukan yang lain dalam ilmu matematika.

Seharusnya, era digital membawa manusia minimal umat Islam ke era tauhid. Dan seharusnya kita pula umat muslim harus menguasai era digital karena digital identik dengan Islam. Dan karena kita pernah jaya dalam teknologi di masa sebelum ini. Kita jauh tertinggal dalam era digital karena umat Islam pernah meninggalkan nilai-nilai tauhid di masa kejayaan terutama di tanah Spanyol.

Era digital masih dan terus bergerak maju, sementara umat Islam hanya sebatas sebagi pengguna yang sering pula masih menggunakan hasil teknologi era digital tersebut jauh dari keimanan tauhid. Sudah saatnya generasi digital mengusung nilai tauhid dalam teknoligi era digital. Bagaimana pendapat Anda?

Selasa, 10 Agustus 2010

Poligami Kualitas Vs Poligami Kuantitas: Sunah Atau Nafsu?

Sering saya bercanda dengan beberapa orang yang saya kenal dengan bertanya: "Mas sudah nikah ya, sudah punya anak berapa?" Jika jawaban dari pertanyaan saya dijawab: "Oh sudah punya anak dua." Maka dengan nada bercanda saya bertanya: "Dari istri keberapa?"

Dengan wajah terkejut dan tidak siap dengan pertanyaan saya, maka pria tersebut spontan berkata: "Wah, mas ini bisa aja. Ya dari istri pertama lah masak dari istri kedua." Selanjutnya saya mengatakan: "Siapa tahu mas punya anak dua dari istri kedua sedangkan dari istri pertama enggak punya anak."

Pembaca yang budiman, menjelang puasa Ramadhan 1431 H ini adalah masih tepat saya angkat topik tentang poligami yang mana di sebagian besar umat Islam Indonesia masalah poligami menjadi sebuah masalah sensitif untuk dijalankan sebagai sunah Nabi. Nafsu untuk berhubungan seksual merupakan fitrah manusia dan Ramadhan merupakan bulan latihan untuk mengontrol nafsu ini.

Benarkah poligami yang banyak dilakukan para pria muslim Indonesia selama ini merupakan sunah Nabi? Atau jangan-jangan poligami selama ini yang dipraktekan merupakan nafsu yang berjubah sunah Nabi? Benarkah demikian?

Sering kita mendengar alasan beberapa pria melakukan poligami dengan alasan menjalankan sunah nabi. Dengan percaya diri mengatakan demikian, pria tersebut melenggang menjalankan rumah tangganya tanpa sadar dalam kehidupannya jauh dari sunah nabi.

Ada pula dari para wanita mengatakan poligami tidak mungkin dijalankan secara adil oleh para suami. Dan yang lebih berbahaya lagi ada pemikiran bahwa poligami TIDAK BOLEH dilakukan oleh para suami karena banyak fakta yang menjalankan demikian menyimpang dari aspek keadilan. Dengan kata lain poligami HARUS DILARANG untuk dipraktekan. Ini sangat berbahaya jika pemikiran ini terus berkembang di masyarakat.

Mengapa demikian? Karena kesalahan dalam silogisme berpikir maka kesimpulan yang diambil pun salah. Yang dimaksudkan oleh penulis adalah yang bermasalah selama ini adalah praktek poligami tetapi ingin melarang poligaminya. Atau yang bermasalah dalam HOW tetapi yang dilarang adalah WHAT-nya. Inilah kesalahan silogisnya. Dan jelas kesimpulan yang diambil pun salah. Ini sangat berbahaya bila dibiarkan terus demikian. Hal ini akan mengarah kepada penghapusan poligami, padahal poligami bagian dari perintah Allah dalam Al Quran. Jika ayat tentang poligami dipertanyankan karena kesalahan pada HOW maka efek domino untuk ayat yang lain pun akan sama. Maka timbulah pemikiran bahaya yaitu jika satu ayat dapat dihilangkan mengapa yan lain tidak bisa? Inilah yang dimaksud oleh penulis berbahaya karena kesalahan berpikir dan mengambil kesimpulan.

Poligami sejatinya, jika merujuk apa yang dipraktekan oleh Rasulullah, adalah pernikahan dengan tujuan mengangkat derajat wanita yang telah menjanda dan memiliki tanggungan anak. Rasulullah tidak pernah sekalipun menikahi wanita yang masih gadis setelah Siti Aisyah yang memang masih gadis. Artinya yang dinikahi oleh nabi untuk menjadi istri setelah Siti Aisyah semuanya janda dengan tanggungan anak kecuali janda dari Zaid yang tidak memiliki anak hasil pernikahan dari Zaib bin Harits, anak angkat beliau sendiri. Khusus untuk janda Zaid, hal ini mendobrak tradisi setempat yang melarang menikahi janda dari anak angkatnya. Islam tidak menyamakan anak angkat dengan anak kandung sendiri (baca surat Al Ahzab, surat ke-33). Hak dan kewajiban mereka berbeda meski anak angkat tersebut diasuh semenjak dari kecil (terlepas dari sesusuhan).

Demikian adanya poligami yang dilaksanakan oleh Nabi bila Anda ingin menjadikan Nabi sebagai pola sunah mutlak. Jika kita melihat apa yang dipraktekan oleh para pria selama ini, apakah demikian adanya?

Sering penulis menyampaikan dalam diskusi kecil setelah sholat maghrib bahwa apa yang selama ini dipraktekan oleh para pria dalam berpoligami hanya sebatas KUANTITAS belum pada KUALITAS. Kuantitas yang dimaksud adalah hanya sebatas pada jumlah istri, dua, tiga atau empat tetapi untuk kualitas, nah inilah yang menjadi masalah selama ini.

Jika banyak yang berpoligami dengan alasan sebagai sunah nabi maka Anda pembaca artikel ini yang setuju dengan poligami ala kuantitas mohon jawab pertanyaan berikut ini cukup dalam diri Anda sendiri:

  1. Perintah sholat malam (tahajud) lebih dulu dari perintah berpoligami. Tepatnya dalam surat Al Muzammil yang turun lebih dulu sebelum nabi hijrah ke Madinah sementara perintah poligami turun di kota Madinah.

    Pertanyaannya adalah: Sudahkah Anda melakukan sunah nabi yang tiap malam melakukan sholat tahajud dan ini tidak pernah terputus hingga akhir hayat beliau? Jika belum, mengapa sunah Nabi untuk sholat malam belum Anda lakukan secara maksimal meski hanya dua rakaat saja dan Anda mengatakan berpoligami merupakan sunah Nabi? Ingat sebelum Nabi berpoligami beliau telah membekali lebih dulu jiwa beliau dengan sholat malam.

  2. Sudahkah Anda melakukan sunah Nabi dalam berpuasa sunah minimal senin-kamis secara kontinyu? Jika belum ingat Nabi melakukan puasa sebagai penahan nafsu duniawi sedangkan Anda belum maksimal melakukannya sudah berani menjalankan poligami.
  3. Sudahkah Anda menjalankan poligami ala qualitas? Yaitu menikahi para janda, sebagai apa yang dicontohkan oleh Nabi, dan menyatuni anak tiri Anda dengan baik dan adil? Jika belum, maaf poligami Anda belum sampai pada taraf poligami ala qualitas, masih pada quantitas.
  4. Sudahkah Anda mengevaluasi diri Anda sendiri akan arti adil dalam berpoligami? Jika belum, ada baiknya Anda menilai kadar kemampuan Anda sebelum berpoligami.

Poligami terkadang ada yang melakukannya dengan alasan untuk mencari keturunan. Artinya jika dari istri pertama belum memiliki anak, maka ia menikahi wanita lain sebagai istri kedua agar mendapatkan keturunan. Untuk hal ini ada dua contoh Nabi yang melaksanakannya. Untuk masalah mendapatkan keturunan, ada dua Nabi yang berbeda dalam hal ini. Nabi pertama adalah Nabi Ibrahim dan yang kedua Nabi Zakaria.

Nabi Ibrahim menikahi dua wanita dimana istri pertama tidak mendapatkan keturunan. Kemudian dari istri kedua mendapatkan keturunan dengan istri bernama SitI Hajar dengan anaknya yang mulia Nabi Ismail. Hanya saja dalam hal ini Nabi Ibrahim tidak terlepas dari konflik rumah tangga secara cemburu manusia ketika Siti Hajar memiliki anaknya sementara istri pertama Nabi Ibrahim belum memiliki anak.

Contoh Nabi kedua adalah Nabi Zakaria. Beliau tidak menikahi wanita lain selain istrinya yang memanng hingga di usia senja belum mendapatkan keturunan. Beliau dengan sabar terus meminta untuk diberi keturunan meski usia terus menapak senja. Dan dengan kesabaran yang tinggi, akhirnya Allah mengabulkan doa beliau dengan mendapatkan seorang anak di usia yang sudah tidak muda lagi.

Adapun Nabi Muhammad melakukan poligami dalam rangka menghormati para janda yang suaminya telah banyak meninggal dalam medan perang (mati syahid). Dengan anak sebagai tanggungan dan Rasul sebagai pemimpin sebuah Negara maka sangatlah wajar Nabi menikahi para janda perang ini untuk dilindungi secara hukum Nabi dengan naik status sebagai istri Rasul. Baca kembali di surat Al Ahzab, dimana istri Rasul adalah "Ibunya Umat Muslim" yang tidak boleh dinikahi meski Rasul telah meninggal dunia. Sebuah level tinggi dari Allah yang diberikan kepada mereka sebagai perlindungan sosial di dunia dan penghormatan tinggi di akhirat. Pertanyaannya, mengapa meski janda?

Pembaca yang budiman, jika di sebuah kampung A banyak memiliki gadis yang belum menikah dan di sebuah kampung B banyak janda-janda yang belum dinikahi lagi maka pertanyaan untuk Anda lebih banyak fitnah secara social yang manakah dari dua kampung tersebut? Kampung A atau kampung B?

Tentu Anda sepakat dengan saya kalau fitnah lebih banyak di kampung B daripada di kampung A. Demikianlah adanya hukum sosial yang ada di masyarakat manapun. Janda dan gadis meski sama-sama wanita tetapi mengundang fitnah yang berbeda. Adalah hal yang sangat logis-sosial jika para janda , apalagi dengan tanggungan anak yang banyak, sebagai contoh dari poligami yang dipraktekan oleh Nabi.

Selesaikah sampai di sini? Belum. Artinya beguti sajakah setiap pria muslim dipersilakan untuk berpoligami? Jawabannya sangat subyektif. Artinya jika kita merujuk ayat poligami maka ayat tersebut sangat subyektif untuk pria yang telah mengukur kadar kemampuan dirinya secara obyektif bahwa ia mampu melaksanakan poligami. Artinya, poligami memang sebuah hukum Allah tetapi ini tidaklah begitu saja setiap orang mampu menjalankannya. Sebagai ilustrasi sederhana setiap pria mampu mengangkat benda berat tetapi satu sama lain kemam[uan ini berbeda. Saya boleh jadi mampu mengangkat beban seberat 50 kg untuk dipikul tetapi ada si fulan yang mampu mengangkat beban seberat 100 kg dipikul dengan baik. Kekuatan si fulan jelas tidak bisa saya paksakan kepada diri saya. Kalaupun dipaksakan maka fatal akibatnya. Sendi bisa keseleo atau pinggang bisa tergeser atau lebih fatal lagi tulang bisa retak dan patah. Kekuatan inilah yang dimaksud oleh Allah dalam surat An Nisaa ayat ke-3فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُو

Jika 4 pertanyaan di atas telah terjawab dengan baik dan Anda dengan subyektif ukuran kadar kemampuan diri Anda sendiri, maka inilah poligami kualitas. Sebuah poligami yang jauh dari sekedar mengatas namakan sunah namun terbatas pada quantitas semata. Poligami sebuah keniscayaan tetapi untuk dilaksanakan adalah sebuah subyektif yang berbeda pada masing-masing individu.

Jika ingin berpoligami, silakahkan asalkan bertaraf qualitas. Namun jangan Anda melaksanakan poligami dengan alasan sunah Nabi, sementara yang Anda laksanakan baru taraf kuantitas semata. Inilah yang dikuatirkan nafsu Anda melaksanakan poligami dengan alasan agama dan menjadi poligami kuantitas semata. Kalau ini yang dilaksanakan maka sangat wajar para wanita banyak protes akan hal ini. Dan protes ini benar dan praktek poligami demikian itu yang salah. Semoga dengan tulisan kecil ini saya dapat mewacanakan poligami kualitas dan poligami kuantitas tidak ada lagi. Bagaimana pendapat Anda?


 


 


 


 

    

Senin, 09 Agustus 2010

Selamat Ber-Aha Eureka Kembali: Matematika dan Tauhid Islam, Sebuah Mata Rantai Terputus

Hampir setahun lebih sudah saya, Neo Revo, tidak aktif menulis. Pengunjung yang setia dan semua pembaca blogku yang budiman, saya mohon maaf atas kevakuman tulisan saya. Dan menjelang Ramadhan 1431 H ini semoga saya terus kembali aktif menulis lagi.

Dalam awal tulisan saya kali ini, saya ingin menjelaskan mengapa saya tidak lagi berprofesi sebagai guru, dan kaitannya dengan masalah sekolah-sekolah Islam.

Perlu pembaca mengetahui tentang sedikit profesi saya. Saya berhenti menjadi guru persis setahun yang lalu. Banyak alasan yang dapat saya sampaikan kepada Anda, tetapi yang lebih penting saya sampaikan secara pribadi kepada Anda semua pembaca blogku setia adalah alasan utama yang mengganggu pikiran dan idealisme saya.

Saya adalah mantan guru bahasa Inggris untuk tingkat SMA di sebuah sekolah swasta di Bekasi. Sekolah tersebut (maaf saya tidak menyebutkan nama sekolah tersebut demi nama baik sekolah) bercirikan Islam meski tidak melabeli diri sebagai sekolah Islam. Dan saya adalah lulusan dari sebuah pondok pesantren selama 6 tahun dari tahun 1983-1989. Yang menjadi gangguan pikiran saya adalah mengapa sekolah Islam atau siswa-siswa Indonesia yang beragama Islam sangat kental dengan "virus jahat" ideologi atau alam filsafat Barat dalam mata banyak mata pelajaran wajib di kelas yang jauh dari nilai-nilai hakiki Islam? Bagaimana lagi dengan sekolah yang tidak bercirikan Islam? Dapat Anda bayangkan bagaimana begitu banyak "virus jahat" ideologi yang menjangkiti siswa-siswa Indonesia yang mayoritas beragama Islam dalam pola pikir!

Pembaca yang budiman, saya selalu bertanya dan semoga Anda juga memiliki pertanyaan yang sama: Apa yang didapatkan dari sebuah sekolah berlabel Islam sedangkan dalam pelajaran di bangku sekolah masih ada "virus flisafat jahat" yang merusak aqidah dan pola pikir mereka terhadap keislaman itu sendiri?

Tiada guna secara maksimal untuk mencetak siswa yang mendapatkan nilai-nilai Islam meski mendapatkan pelajaran agama seperti pelajaran tentang Al Quran dan sebagainya jika pelajaran-pelajaran lain seperti biologi, fisika dan matematika masih saja berlandaskan alam filsafat Barat.

Untuk pelajaran terakhir yang saya sebutkan di atas, kali ini menjadi topik tulisan saya. Sebelum membahas hal ini kembali saya bertanya kepada Anda: Apa arti sekolah berlabelkan Islam jika mata pelajaran wajib lainnya yang berlandaskan alam filsafat Barat masih diajarkan untuk mereka? Lalu apa solusi terbaik dari hal ini?

Saya pernah berdiskusi tentang hal ini setahun yang lalu di masjid Al Akbar Surabaya dengan seorang professor dari salah satu sebuah universitas negeri di Surabaya. Lalu saya sampaikan solusi yang menurut saya cukup baik. Solusi tersebut adalah: Mengapa kita tidak mengumpulkan para penulis Islam yang memiliki potensi besar untuk menyusun buku pelajaran beserta kurikulumnya dengan pola pikir Quran-Hadits? Adalah tidak mungkin menjadi siswa yang Islam secara kaffah jika masih menggunakan kurikulum dan buku yang bertentangan dengan Islam meski ia sekolah dengan label Islam bahkan di sebuah pondok pesantren sekalipun!

Saya kebetulan masih memiliki anak berusia 4 tahun dan semenjak dini sudah saya wasiatkan kepada istri saya untuk tidak pernah menyekolahkan anak kami jika selama itu pula sekolah masih menggunakan kurikulum dan buku alam filsafat Barat. Kami hanya ingin ia belajar secara dalam Al Quran dan Hadits saja tanpa dicemari oleh "virus filsafat jahat" melalui pelajaran-pelajaran umum di sekolah.

Tampak sebuah hal yang aneh dan "ngaco" bagi orang tua yang lain tentang sikap kami ini, tetapi jika Anda membaca artikel saya ini boleh jadi Anda setuju dengan saya. Toh kalaupun tidak, minimal saya telah "meracuni" pola pikiran Anda untuk berpikir sejenak tentang idealis saya.

Kini mari saya hantarkan Anda ke topik utama tulisan saya.

Jika Anda membaca rumus E=MC2 tentu Anda mengenal rumus tersebut ketika belajar fisika di bangku SMA. Atau rumus s=v.t atau rumus fisika dan kimia yang lain. Tentu rumus-rumus tersebut sering dikaitkan dengan nama penemunya sebagai penghargaan atas jerih payah mereka menemukan rumus tersebut.

Tetapi pernahkah terbesit di pikiran Anda siapa yang menemukan sebuah kemutlakan dalam matematika: 1+1 = 2? Atau mengapa semua manusia di jagat bumi ini tanpa sadar sepakat bahwa 1+1 =2? Mengapa tidak ada yang memiliki aturan lain jika 1+1= 5 misalnya? Dan mengapa semua manusia di jagat ini sepakat bahwa angka 1 adalah angka benar-benar tunggal? Dan mengapa seluruh manusia di muka bumi ini sepakat dengan bilangan yang sama? Siapa yang mengajarkan hal ini kepada semua manusia di muka bumi ini? Mengapa tidak ada yang mengklaim jika 1+1=2 adalah rumus seseorang? Jika Archimedes yang kotasi Aha Eureka! miliknya saya jadikan label untuk blog ini dianggap sebagai jenius dengan rumusnya FA=ρ.g.V bukanlah penemu 1+1=2, atau Newton atau bahkan Einstein sekalipun, lalu siapa? Dan mengapa kita setuju saja waktu diajarkan oleh guru kita di kelas dan tidak memprotes jika kita punya "rumus" sendiri untuk hasil penjumlahan 1+1? Jika Anda masih duduk di bangku sekolah dan mengajukan pertanyaan kepada guru matematika Anda mengapa 1+1=2 dan tidak 1+1=3 tentu guru Anda menjawab sederhana: ya begitulah perhitungannya. Dan jika Anda bertanya lagi kepada guru Anda siapa yang menemukan 1+1=2 tentu guru Anda tidak mampu menjawabnya.

Pembaca yang budiman semoga pertanyaan awal tersebut mengganggu pikiran Anda. Boleh jadi ini tidak pernah terpikirkan oleh Anda sebelumya. Tentu Anda sepakat dengan saya bahwa TIDAK ADA PENEMU untuk 1+1=2 atau perhitungan lainya!

Jika tidak ada, lalu siapa yang mengajarkan hal ini dan mengapa semua manusia di jagat ini sepakat dalam hal yang sama?

Jawabannya, dan mungkin Anda terkejut adalah hal ini diajarkan oleh Allah secara langsung kepada Nabi Adam as sewaktu beliau belum diturunkan di muka bumi ini.

Satu pertanyaan dalam diri Anda adalah: darimana fakta ini saya dapatkan?

Jawaban dari pertanyaan Anda adalah karena sistem bilangan matematika adalah jalan menuju tauhid murni Allah SWT.

Ingatlah dalam ayat pertama dari surat Al Ikhlas Allah berfirman: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ.

Konsep tunggal dan angka 1 adalah ilmu mutlak yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Adam sebagai manusia pertama dan wajib untuk diteruskan kepada anak cucu beliau nantinya. Sebagai ilmu dasar untuk mengenal konsep SATU Allah SWT maka adalah sangat logis jika Allah mengajarkan matematika dasar kepada Nabi Adam agar beliau meyakini secara logis dan ainul yaqin akan SATU tuhan atau tauhid Allah.

Tidak mungkin Nabi Adam mengetahui tentang tauhid Allah jika beliau tidak diajarkan secara langsung oleh Allah sendiri akan matematika dasar sedangkan manusia memilki potensi dahsyat dalam rasionya untuk memahami konsep matematika yang rumit.

Bilangan, perhitungan dan kemutlakan matematika seperti 1+1=2 tentu sudah lebih dulu Allah ajarkan agar manusia tidak tersesat dalam memahami keesaan Allah. Oleh karenanya, jika ada yang ngotot mengatakan 1+1+1=1 dan membantah 1+1+1=3, maka dalam pergaulan kita sehari-hari tentu orang tersebut dianggap bodoh dan bahkan dianggap gila. Mengapa? Karena hasil perhitungan berbeda dengan manusia yang lain di seluruh muka bumi ini.

Konsep tauhid sejatinya adalah konsep matematika dasar yang sudah dibekali oleh Allah untuk seluruh manusia melalui nabi Adam. Dan ketika nabi Adam diturunkan ke muka bumi maka yang diajarkan oleh beliau untuk anak dan cucunya adalah konsep dasar matematika ini agar tidak rancu memahami tauhid Allah. Dan ini terus diajarkan sebagai pelajaran wajib agar meyakini secara logis dan haqqul yakin (khusus nabi Adam saya sebutkan ainul yaqin dan begitu pula para nabi) akan ketauhidan Allah.

Salah satu yang diajarkan oleh nabi Adam kepada anak dan cucu-cucunya adalah 1+1=2 dan tidak ada jawaban lain! Hal ini penting bahwa tidak ada tuhan lain selain Allah. Jika ada tuhan lain maka dua tuhan tidak mungkin mampu mengolah alam raya ini secara harmonis sedangkan dalam diri tuhan masing-masing memiliki kekuasaan mutlak. Mengapa? Karena 1 tidak sama dengan 2!

Kembali ke persoalan awal pertanyaan saya. Adalah hal yang memiriskan hati kita pada hari ini dimana mata pelajaran matematika kita jauh dikaitkan dengan ketauhidan Allah. Tidak ada buku-buku pelajaran matematika yang beredar di Indonesia secara khusus untuk sekolah-sekolah Islam atau pondok pesantren mengkaitkan matematika dengan tauhid. Padahal Islam memiliki pakar matematika yang sangat disegani di Barat dalam bidang matematika. Beliau tersebut adalah Al Khawarizmi.

Islam, dengan konsep قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ mengajarkan kita semenjak dini akan matematika dasar ke setiap anak kita agar mereka tidak mengalami kerancuan akan konsep satu dan bilangan yang lain. Konsep ini merupakan pelajaran wajib bagi setiap anak muslim. Logikanya adalah pelajaran matematika dasar juga wajib diajarkan oleh orang tua kepada anaknya agar ia tidak tersesat dalam memahami keesaan Allah.

Uniknya hari ini adalah di Barat yang mayoritas beragama Nasrani dan di Barat pula hari ini terkenal dengan jago matematika masih ada yang ngotot mempertahankan konsep trinitasnya dengan mengatakan 1+1+1=1. Padahal dari kesepakatan seluruh manusia di muka bumi ini entah ia beragama apa saja pasti ketika di bangku sekolah diajarkan 1+1+1=3 dan tidak pernah 1+1+1=1.

Pembaca yang budiman, ironisnya pada hari ini matematika menjadi mata rantai yang terputus dengan tauhid Allah padahal matematika diajarkan dan juga menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah yang berlabelkan Islam. Ini baru matematika yang menjadi dasar perhitungan untuk mata pelajaran eksata lainnya seperti fisika dan kimia.

Jika matematika saja sudah terputus dengan tauhid Allah tentu pelajaran fisika dan kimia terputus juga. Sebuah ironi yang fatal mengingat Islam identik dengan logika matematika mutlak.

Oleh karena hal ini saya keluar dari profesi saya dan mencari konsep kurikulum dan buku mata pelajaran yang benar-benar tidak terputus dengan tauhid Allah. Fisika, kimia dan bahkan biologi semuanya tidak pernah terputus dengan tauhid Allah karena Allah meliputi segala hal di alam raya ini.

Ironisnya, hari ini sekolah-sekolah bercirikan islami jauh dari ketauhidan Allah dengan suka rela mengunyah lalu menelan dengan nikmat kue pahit filsafat Barat dalam banyak mata pelajaran tanpa sadar kue tersebut juga mengandung racun berbahaya.

Sudah saatnya para pakar ilmu beraqidah Islam duduk bersama lalu membuat kurikulum dan buku mata pelajaran dengan konsep Al Quran dan Hadits. Sangat banyak yang harus disampaikan dalam buku mata pelajaran tersebut dengan mata rantai tauhid.

Dan sudah saatnya pula kita membuang jauh-jauh "virus jahat" filsafat dalam mata pelajaran di sekolah-sekolah Islam. Dan sudah saatnya pula setelah Anda membaca artikel saya ini untuk merubah pola pikir Anda terhadap banyak mata pelajaran hari ini. Bagaimana pendapat Anda?