Demikian halnya dengan diri ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Beliau menghadapi semua cobaan dan fitnah secara ikhlas. Hasilnya? Secara pasti rezim Orde Baru runtuh serta rekayasa dan tekanan internasional pun tidak berhasil.
Atau ulama terkenal lainnya, seperti Buya Hamka dan Sayyid Quthub. Mereka berdua dapat menggetarkan musuh meski mereka ada di dalam penjara. Justru dalam penjara itulah mereka msing-masing menghasilkan karya fenomenal yaitu berupa tafsir Al Qur'an. Al Azhar milik Buya Hamka dan Fi Dzilallil Qur'an milik Sayyid Quthub.
Contoh lain dari dahsyatnya kekuatan ini adalah ayah dari Buya Hamka sendiri. Seperti yang ditulis oleh BUya Hamka dalam tafsirnya, ayah belia pernah dibawa oleh tentara Jepang ke markas mereka. Ketika sang jenderal masuk ke ruangan, semua yang ada di situ berdir lalu menghormati ala tradisi Jepang. Dengan tenang dn mantap pada keyakinan, ayah Buya Hamka tetap duduk di kursinya. Apa yang terjadi kemudian? Tanpa disangka, sang jenderal justru malah menghormati beliau ala tradisi Jepang sementara beliau duduk tenang di kursinya!
Apakah Anda pernah menonton film tentang pejuang Libya yang legendaris yaitu Omar Mochtar? Film yang diangkat dari cerita nyata ini menggambarkan bagaimana gigihnya beliau berperang melawan musuh yang lebih lengkapdlaam persenjataan. Itali, sebagai negara penjajah, kalang kabut dibuatnya meski pejuang Libya hanya berperang dengan senjata apa adanya. Film yang berjudul "Omar Mochtar: The Lion of Desert" ini ber-ending dramatik dengan menghukum mati Omar Mochtar di tiang gantung.
Demikianlah contoh-contoh dari tokoh-tokoh besar yang ada. Keikhlasan, sebagai buah manis dari fathonah ini, dapat dibaca lebih jauh dalam karya besar Imam Ghazali di buku beliau Ihya Ulmuddin.
Seperti yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fith-Thariq Ilallah: An Nihyyah Wal Ikhlas dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Niat dan Ikhlas,imam Ghazali memberikan sebuah cerita orang sholeh yang bernama Turmuz.
Pada suatu ketika ada sebuah pohon yang disembah manusia. Mendengar hal ini, Turmuz mengambil sebuah kapak dan mengendap-endap dalam kegelapan malam untuk menebang pohon itu.
Di tengah jalan ia berpapasan dengan Iblis yang hendak mencegahnya. Namun Turmuz menolak. Maka perkelahian pun terjadi. Turmuz mudah sekali mengalahkan Iblis, seperti sehelai bulu di tangan yang ditiup. Mengetahui ia tidak dapat mengalahkan Turmuz, Iblis dengan licik melakukan tawar-menawar. Inti dari tawar-menawar tersebut Iblis berjanji hendak memberikan Turmuz uang dinar setiap hari yang ia akan dapatkan di bawah bantal dengan syarat ia tidak menebang pohon tersebut.
Lanjut Iblis, dengan uang tadi Turmuz dapat memanfaatkannya untuk sedekah dan menyantuni anak fakir miskin dan yatim piatu. Turmuz setuju.
Selama beberapa hari ia mendapatkan uang dinar di bawah bantalnya, seperti yang dijanjikan oleh Iblis. Namun, pada suatu hari ia terkejut. Uang dinar yang biasanya ada kini tidak ia jumpai di bawah bantalnya. Dia pun menunggu dengan sabar siapa tahu Iblis lupa. hari demi hari uang yang ditunggu tidak ada. Turmuz mengambil kesimpulan Iblis telah mangkir dari janjinya.
Dengan kesal, Turmuz mengambil kapaknya lalu dengan cepat menuju pohon. Di tengah jalan ia berpapasan lagi dengan Iblis. Iblis mencegahnya untuk menebang. Tapi dengan marah karena merasa ditipu oleh Iblis, Turmuz melawan. Dan apa yang terjadi?
Kini dengan mudahnya Iblis mengalahkan Turmuz, bagai sehelai bulu di tangan yang ditiup angin. Dengan rasa penasatan, Turmuz bertanya pada Iblis,"Mengapa kali ini saya dapat mudah kau kalahkan, Iblis?"
Iblis pun menyahut dengan nada kemenangan,"Pada perkelahian pertama aku kalah karena kau Turmuz menebang pohon karena Ihklas mencari ridho Allah. Tapi kini aku mengalahkanmu dengan mudah karena kamu dilandasi marah karena tidak mendapatkan uang dinar."
Apa yang dapat dipetik dari cerita di atas?
Dahsyatnya kekuatan ikhlas mampu mengalahkan musuh abadi manusia: Iblis. Dan ini hanya timbul dari kecerdasan rohani yang terus dilatih. Kecerdasan rohani ini memiliki tanda-tanda.
Seperti yang diuraikan oleh Yusuf Qardhawi (2000), beliau memberikan tiga belas tanda-tanda keikhlasan. Salah satu dari tanda tersebut adalah berbuat selayaknya dalam memimpin. Yusuf Qardhaqi menjelaskan bahwa apapun keadaannya,seorang pemimpin tidak ambisius dan tidak menuntut kedudukan untuk kepentingan diri sendiri.Tetapi jiak ia diberi tugas sebagai pemimpin maka ia jalankan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagai penutup tulisan ini mari kita baca sosok pahlawan Islam yang gagah berani, Khalid bin Walid.
Beliau menjadi jenderal dalam perang besar melawan Romawi di masa khlaifah Umar bin Khattab. Dalam masa pertempuran, tiba-tiba ia menerima surat perintah dari khalifah. Isi surat itu pencopotan dirinya dari jenderal dan menjadi tentara biasa. Dan kepemimpinan pasukan selanjutnya harus diserahkan kepada penggantinya, Abu Ubaidah.
Mengetahui hal ini, tanpa banyak protes ia memberikan jabatan itu kepada Abu Ubaidah. dan Ia menjadi tentara biasa yang siap dipimpin oleh Abu Ubaidah, sang jenderal baru.
Ketika ia ditanya mengapa ia tetap berperang dngan gagah berani seperti sedia kala dan tidak melakukan kudeta, Khalid bin Walid menjawab dengan tenang,"Aku berperang bukan karena Umar, tetapi karena Allah."
Singkat jawaban Khalid bin Walid tapi dahsyat.
Demikianlah kisah pahlawan hebat ini. Ia siap berperang dalam posisi apapun dan meski lagi menikmati posisi puncak dalam karik militer tiba-tiba diturunkan menjadi tentara biasa tanpa ada kesalahan secara syar'i, Khalid bin Walid tetap berjihad dengan hebat.
Tahukah Anda mengapa Umar bin Khattab menurunkannya menjadi tentara biasa? Alasanya sederhana: Umar takut para tentara kagum pada kepemimpinan Khalid bin Walid dan mereka bangga bahwa kemenangan hanya didapatkan bila Khalid bin Walid adalah jenderalnya.
Sebuah alasan yang sangat berdimensi Illahiyah!
Apakah Khalid bin Walid menjadi sakit hati karena masalah ini? Ternyata tidak! Tidak ada disersi, tidak ada konspirasi untuk berontak dan tidak ada dendam pribadi! Dengan kecerdasan rohaninya, Khalid bin Walid tetap sami'na wa atho'na pada kekhalifahan Umar bin Khattab.
Sampai di sini kita dapat menilai memang begitu dahsyatnya kecerdasan rohani Nabi yang telah diikuti oleh para tokoh besar Islam.
Bagaimana pendapat Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar