Selasa, 10 Agustus 2010

Poligami Kualitas Vs Poligami Kuantitas: Sunah Atau Nafsu?

Sering saya bercanda dengan beberapa orang yang saya kenal dengan bertanya: "Mas sudah nikah ya, sudah punya anak berapa?" Jika jawaban dari pertanyaan saya dijawab: "Oh sudah punya anak dua." Maka dengan nada bercanda saya bertanya: "Dari istri keberapa?"

Dengan wajah terkejut dan tidak siap dengan pertanyaan saya, maka pria tersebut spontan berkata: "Wah, mas ini bisa aja. Ya dari istri pertama lah masak dari istri kedua." Selanjutnya saya mengatakan: "Siapa tahu mas punya anak dua dari istri kedua sedangkan dari istri pertama enggak punya anak."

Pembaca yang budiman, menjelang puasa Ramadhan 1431 H ini adalah masih tepat saya angkat topik tentang poligami yang mana di sebagian besar umat Islam Indonesia masalah poligami menjadi sebuah masalah sensitif untuk dijalankan sebagai sunah Nabi. Nafsu untuk berhubungan seksual merupakan fitrah manusia dan Ramadhan merupakan bulan latihan untuk mengontrol nafsu ini.

Benarkah poligami yang banyak dilakukan para pria muslim Indonesia selama ini merupakan sunah Nabi? Atau jangan-jangan poligami selama ini yang dipraktekan merupakan nafsu yang berjubah sunah Nabi? Benarkah demikian?

Sering kita mendengar alasan beberapa pria melakukan poligami dengan alasan menjalankan sunah nabi. Dengan percaya diri mengatakan demikian, pria tersebut melenggang menjalankan rumah tangganya tanpa sadar dalam kehidupannya jauh dari sunah nabi.

Ada pula dari para wanita mengatakan poligami tidak mungkin dijalankan secara adil oleh para suami. Dan yang lebih berbahaya lagi ada pemikiran bahwa poligami TIDAK BOLEH dilakukan oleh para suami karena banyak fakta yang menjalankan demikian menyimpang dari aspek keadilan. Dengan kata lain poligami HARUS DILARANG untuk dipraktekan. Ini sangat berbahaya jika pemikiran ini terus berkembang di masyarakat.

Mengapa demikian? Karena kesalahan dalam silogisme berpikir maka kesimpulan yang diambil pun salah. Yang dimaksudkan oleh penulis adalah yang bermasalah selama ini adalah praktek poligami tetapi ingin melarang poligaminya. Atau yang bermasalah dalam HOW tetapi yang dilarang adalah WHAT-nya. Inilah kesalahan silogisnya. Dan jelas kesimpulan yang diambil pun salah. Ini sangat berbahaya bila dibiarkan terus demikian. Hal ini akan mengarah kepada penghapusan poligami, padahal poligami bagian dari perintah Allah dalam Al Quran. Jika ayat tentang poligami dipertanyankan karena kesalahan pada HOW maka efek domino untuk ayat yang lain pun akan sama. Maka timbulah pemikiran bahaya yaitu jika satu ayat dapat dihilangkan mengapa yan lain tidak bisa? Inilah yang dimaksud oleh penulis berbahaya karena kesalahan berpikir dan mengambil kesimpulan.

Poligami sejatinya, jika merujuk apa yang dipraktekan oleh Rasulullah, adalah pernikahan dengan tujuan mengangkat derajat wanita yang telah menjanda dan memiliki tanggungan anak. Rasulullah tidak pernah sekalipun menikahi wanita yang masih gadis setelah Siti Aisyah yang memang masih gadis. Artinya yang dinikahi oleh nabi untuk menjadi istri setelah Siti Aisyah semuanya janda dengan tanggungan anak kecuali janda dari Zaid yang tidak memiliki anak hasil pernikahan dari Zaib bin Harits, anak angkat beliau sendiri. Khusus untuk janda Zaid, hal ini mendobrak tradisi setempat yang melarang menikahi janda dari anak angkatnya. Islam tidak menyamakan anak angkat dengan anak kandung sendiri (baca surat Al Ahzab, surat ke-33). Hak dan kewajiban mereka berbeda meski anak angkat tersebut diasuh semenjak dari kecil (terlepas dari sesusuhan).

Demikian adanya poligami yang dilaksanakan oleh Nabi bila Anda ingin menjadikan Nabi sebagai pola sunah mutlak. Jika kita melihat apa yang dipraktekan oleh para pria selama ini, apakah demikian adanya?

Sering penulis menyampaikan dalam diskusi kecil setelah sholat maghrib bahwa apa yang selama ini dipraktekan oleh para pria dalam berpoligami hanya sebatas KUANTITAS belum pada KUALITAS. Kuantitas yang dimaksud adalah hanya sebatas pada jumlah istri, dua, tiga atau empat tetapi untuk kualitas, nah inilah yang menjadi masalah selama ini.

Jika banyak yang berpoligami dengan alasan sebagai sunah nabi maka Anda pembaca artikel ini yang setuju dengan poligami ala kuantitas mohon jawab pertanyaan berikut ini cukup dalam diri Anda sendiri:

  1. Perintah sholat malam (tahajud) lebih dulu dari perintah berpoligami. Tepatnya dalam surat Al Muzammil yang turun lebih dulu sebelum nabi hijrah ke Madinah sementara perintah poligami turun di kota Madinah.

    Pertanyaannya adalah: Sudahkah Anda melakukan sunah nabi yang tiap malam melakukan sholat tahajud dan ini tidak pernah terputus hingga akhir hayat beliau? Jika belum, mengapa sunah Nabi untuk sholat malam belum Anda lakukan secara maksimal meski hanya dua rakaat saja dan Anda mengatakan berpoligami merupakan sunah Nabi? Ingat sebelum Nabi berpoligami beliau telah membekali lebih dulu jiwa beliau dengan sholat malam.

  2. Sudahkah Anda melakukan sunah Nabi dalam berpuasa sunah minimal senin-kamis secara kontinyu? Jika belum ingat Nabi melakukan puasa sebagai penahan nafsu duniawi sedangkan Anda belum maksimal melakukannya sudah berani menjalankan poligami.
  3. Sudahkah Anda menjalankan poligami ala qualitas? Yaitu menikahi para janda, sebagai apa yang dicontohkan oleh Nabi, dan menyatuni anak tiri Anda dengan baik dan adil? Jika belum, maaf poligami Anda belum sampai pada taraf poligami ala qualitas, masih pada quantitas.
  4. Sudahkah Anda mengevaluasi diri Anda sendiri akan arti adil dalam berpoligami? Jika belum, ada baiknya Anda menilai kadar kemampuan Anda sebelum berpoligami.

Poligami terkadang ada yang melakukannya dengan alasan untuk mencari keturunan. Artinya jika dari istri pertama belum memiliki anak, maka ia menikahi wanita lain sebagai istri kedua agar mendapatkan keturunan. Untuk hal ini ada dua contoh Nabi yang melaksanakannya. Untuk masalah mendapatkan keturunan, ada dua Nabi yang berbeda dalam hal ini. Nabi pertama adalah Nabi Ibrahim dan yang kedua Nabi Zakaria.

Nabi Ibrahim menikahi dua wanita dimana istri pertama tidak mendapatkan keturunan. Kemudian dari istri kedua mendapatkan keturunan dengan istri bernama SitI Hajar dengan anaknya yang mulia Nabi Ismail. Hanya saja dalam hal ini Nabi Ibrahim tidak terlepas dari konflik rumah tangga secara cemburu manusia ketika Siti Hajar memiliki anaknya sementara istri pertama Nabi Ibrahim belum memiliki anak.

Contoh Nabi kedua adalah Nabi Zakaria. Beliau tidak menikahi wanita lain selain istrinya yang memanng hingga di usia senja belum mendapatkan keturunan. Beliau dengan sabar terus meminta untuk diberi keturunan meski usia terus menapak senja. Dan dengan kesabaran yang tinggi, akhirnya Allah mengabulkan doa beliau dengan mendapatkan seorang anak di usia yang sudah tidak muda lagi.

Adapun Nabi Muhammad melakukan poligami dalam rangka menghormati para janda yang suaminya telah banyak meninggal dalam medan perang (mati syahid). Dengan anak sebagai tanggungan dan Rasul sebagai pemimpin sebuah Negara maka sangatlah wajar Nabi menikahi para janda perang ini untuk dilindungi secara hukum Nabi dengan naik status sebagai istri Rasul. Baca kembali di surat Al Ahzab, dimana istri Rasul adalah "Ibunya Umat Muslim" yang tidak boleh dinikahi meski Rasul telah meninggal dunia. Sebuah level tinggi dari Allah yang diberikan kepada mereka sebagai perlindungan sosial di dunia dan penghormatan tinggi di akhirat. Pertanyaannya, mengapa meski janda?

Pembaca yang budiman, jika di sebuah kampung A banyak memiliki gadis yang belum menikah dan di sebuah kampung B banyak janda-janda yang belum dinikahi lagi maka pertanyaan untuk Anda lebih banyak fitnah secara social yang manakah dari dua kampung tersebut? Kampung A atau kampung B?

Tentu Anda sepakat dengan saya kalau fitnah lebih banyak di kampung B daripada di kampung A. Demikianlah adanya hukum sosial yang ada di masyarakat manapun. Janda dan gadis meski sama-sama wanita tetapi mengundang fitnah yang berbeda. Adalah hal yang sangat logis-sosial jika para janda , apalagi dengan tanggungan anak yang banyak, sebagai contoh dari poligami yang dipraktekan oleh Nabi.

Selesaikah sampai di sini? Belum. Artinya beguti sajakah setiap pria muslim dipersilakan untuk berpoligami? Jawabannya sangat subyektif. Artinya jika kita merujuk ayat poligami maka ayat tersebut sangat subyektif untuk pria yang telah mengukur kadar kemampuan dirinya secara obyektif bahwa ia mampu melaksanakan poligami. Artinya, poligami memang sebuah hukum Allah tetapi ini tidaklah begitu saja setiap orang mampu menjalankannya. Sebagai ilustrasi sederhana setiap pria mampu mengangkat benda berat tetapi satu sama lain kemam[uan ini berbeda. Saya boleh jadi mampu mengangkat beban seberat 50 kg untuk dipikul tetapi ada si fulan yang mampu mengangkat beban seberat 100 kg dipikul dengan baik. Kekuatan si fulan jelas tidak bisa saya paksakan kepada diri saya. Kalaupun dipaksakan maka fatal akibatnya. Sendi bisa keseleo atau pinggang bisa tergeser atau lebih fatal lagi tulang bisa retak dan patah. Kekuatan inilah yang dimaksud oleh Allah dalam surat An Nisaa ayat ke-3فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُو

Jika 4 pertanyaan di atas telah terjawab dengan baik dan Anda dengan subyektif ukuran kadar kemampuan diri Anda sendiri, maka inilah poligami kualitas. Sebuah poligami yang jauh dari sekedar mengatas namakan sunah namun terbatas pada quantitas semata. Poligami sebuah keniscayaan tetapi untuk dilaksanakan adalah sebuah subyektif yang berbeda pada masing-masing individu.

Jika ingin berpoligami, silakahkan asalkan bertaraf qualitas. Namun jangan Anda melaksanakan poligami dengan alasan sunah Nabi, sementara yang Anda laksanakan baru taraf kuantitas semata. Inilah yang dikuatirkan nafsu Anda melaksanakan poligami dengan alasan agama dan menjadi poligami kuantitas semata. Kalau ini yang dilaksanakan maka sangat wajar para wanita banyak protes akan hal ini. Dan protes ini benar dan praktek poligami demikian itu yang salah. Semoga dengan tulisan kecil ini saya dapat mewacanakan poligami kualitas dan poligami kuantitas tidak ada lagi. Bagaimana pendapat Anda?


 


 


 


 

    

Tidak ada komentar: