Senin, 12 November 2007

Dahsyatnya Pesona Nabi # 1


Suatu ketika ada iklan lowongan tenaga kerja di salah satu media cetak yang berbunyi: “Dicari seorang pekerja yang dapat diandalkan untuk posisi . . . . . .”. Dan iklan demikian hampir setiap hari kita temui di media cetak. Yang menarik adalah ada beberapa perusahaan yang mencari pegawai baru dengan kata-kata “dapat diandalkan, bertanggung jawab, dan yang terbaru, dapat dipercaya”. Pertanyaannya adalah apakah sedemikian sulitnya kita mencari manusia-manusia yang dapat diandalkan, bertanggung jawab dan dapat dipercaya? Belum lagi dalam dunia kerja, terutama di bidang yang berkaitan dengan uang, selalu ada pertanyaan dari atasan: apakah anak buahku seorang jujur (dan pertanyaan yang sama pun timbul dari benak sang anak buah: apakah atasanku bukan seorang koruptor?).
Pembaca yang budiman, ketika Indonesia tampak masih terengah-engah untuk keluar dari krisis ekonomi maka ada yang beranggapan manusia-manusia yang ber-FAST bagaikan malaikat yang turun dari langit. Sebab ada ungkapan yang salah telah berakar di masyarakat kita yaitu mencari yang haram saja sulit apa lagi yang halal. Makna konotatif (makna yang tersirat) dari ungkapan salah itu adalah sudah sulit mencari manusia yang berbuat baik (halal). Dengan demikian sumber daya manusia (SDM) yang ada ini sudah sulit dapat diandalkan lagi. Apakah memang demikian? Tidak! Masih ada SDM yang ber-FAST yang dapat mengeluarkan kita dari krisis ini.
Apakah benar masih ada SDM yang ber-FAST? Lalu apa itu FAST? Apakah ia sebuah ijazah, kalau iya di manakah kita belajar untuk meraihnya? Atau apakah itu sebuah skill, kalau iya di manakah kita berlatih untuk menguasainya?
Pembaca yang budiman, penulis membiarkan Anda tergantung dalam pertanyaan di atas tentang FAST hingga Anda bertanya dulu pada diri sendiri: sampai di manakah potensi saya untuk berbuat sesuatu yang baik dan terpuji untuk krisis besar ini? Mengapa pertanyaan ini harus Anda ajukan dulu, sebab Allah berfirman dalam surat Ar Ra’du ayat 11: “Sunguh Allah tidak akan merubah suatu kaum hingga kaum tersebutlah yang merubah dirinya sendiri”. Demikianlah. Dan apalah arti dari sebuah perubahan tanpa starting point dari diri Anda sendiri.
SDM yang ber-FAST adalah impian semua orang terutama oleh sebuah perusahaan yang telah banyak memiliki para professional yang rata-rata lulusan dari universitas terkemuka dengan mengantongi ijazah minimal S-2. Sebab sebuah perusahaan dengan para professional tanpa FAST maka perusahaan tersebut secara perlahan akan mengalami kehancuran. Lebih besar lagi adalah negara tanpa FAST melahirkan presiden, menteri, hakim dan semua kompenen penting negara yang korup, serakah, bejat dan semua kata-kata yang anti FAST.
SDM ber-FAST adalah solusi dari permasalahan sosial yang komplek dan menjadi “sesuatu yang langkah” di zaman yang penuh dengan anti-FAST pada saat ini. Dan SDM ber-FAST adalah SDM yang dapat diterima oleh semua kelompok suku, ras agama dan golongan. Mengapa demikian? Sebab ia adalah keluhuran akhlak manusia yang memberi pencerahan bahwa manusia memang selayaknya mengolah dunia ini menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Untuk memulai apa itu FAST, penulis meminta Anda untuk menilik sosok Nabi Muhammad yang telah diklaim oleh Allah sebagai manusia yang berakhlak paling mulia(Al Qolam :68). Nabi telah membangun FAST beliau dengan sempurna yang mana sebagai muslim kita wajib meneladani hal ini karena Allah berfirman:
“Telah ada suri tauladan yang baik untukmu pada diri Rasulullah bagi siapa saja yang berharap untuk bersua dengan Allah dan mengharakan kehidupan akhiratdan yang banyak mengingat Allah ” (AL Ahzab; 21). Dan bagi Anda yang non muslim Anda tidak perlu segan-segan untuk mencontoh FAST Nabi sebab hal ini tidak menjadikan Anda otomatis seorang muslim atau berubah keyakinan. Sebab dengan FAST Nabi itulah beliau diutus untuk seluruh umat manusia, baik yang beriman kepada beliau ataupun tidak. FAST Nabi adalah nilai universal yang high-end yang dapat diterima oleh siapa saja.
FAST adalah singkatan dari Fathona, Amanah, Siddiq, dan Tabligh. Fathona berarti cerdas. Cerdas dalam diri Nabi adalah cerdas secara yang luhur yaitu cerdas emosi dan spiritual yang lebih tinggi nilainya dari cerdas otak di era millenium ini. Nabi memang buta huruf atau dalam Bahasa Arabnya adalah ummi atau illetaracy dalam Bahasa Inggrisnya namun hal ini tidak berarti beliau tidak cerdas secara intellektual. Justru beliau lebih cerdas secara intellektual sebab beliau cerdas secara emosional dan spiritual.
Amanah berarti dapat diandalkan (istilah dalam Bahasa Inggrisnya adalah reliable) atau memiliki kejujuran atau memilki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas. Siddiq berarti benar atau berarti sesuai apa yang di lisan dan tindak laku atau istilah sekarang manusia yang bukan NATO (No Action Talk Only: Tiada aksi dan tindak laku hanya ngomong doang).
Tabligh berarti menyampaikan atau istilah sekarang memiliki accountability yaitu memiliki tanggung jawab publik atas apa yang ia miliki entah itu ilmu, harta, pekerjaan atau apa saja sebab ia hidup di dalam masyarakat. Nabi wajib menyampaikan suara Tuhan untuk publik (umat) dan tidak boleh sedikitpun menyembunyikan, menyelewengkan atau mengkorupsi firman Allah.
Dalam sebuah perusahaan, tabligh bisa berarti transparancy atau open management. Dengan adanya keterbukaan yang berlandaskan amanah maka ia akan menyampaikan kebenaran perusahaan. Kebenaran perusahaan adalah apa yang menjadi hak publik (karyawan) pasti disampaikan dan dipenuhi sesuai haknya. Dan tidak sedikitpun menyimpan, menyelewengkan dan atau mengkorupsi hak publik. Dengan adanya tabligh maka orang akan dapat menilai apakah ada hal yang disembunyikan, diselewengkan dan dikorupsi oleh orang yang mendapatkan amanah publik yang mana ditangannya ada hak-hak dan kewajiban publik untuk mendapatkannya.
Demikianlah arti FAST. Dan untuk memulai membangun SDM universal yang high-end marilah kita kaji FAST secara seksama mulai dari Fathona.
Kajian terkini tentang kecerdasan telah menggeser kecerdasan otak (Brain Intelengence/BI; penulis menghindari istilah IQ yang mana huruf Q adalah quotient yang sebenarnya berarti nilai secara matematis) ternyata tidaklah cukup. Bahkan kecerdasan emosi (Emotional Intelegence/EI) dan yang terakhir kecerdasan spiritual (Spiritual Intelegence/ SI). Nabi Muhammad telah lama memberi pencerahan (enlightment) kepada masyarakat Quraish yang BI-nya tinggi (dibuktikan dengan ahli di bidang sastra layaknya William Shakwspeare yang BI-nya tinggi dalam bidang sastra) namun secara EI apalagi SI sangat rendah.
Salah satu kemulian Nabi Muhammad yang cerdas dalam EI adalah ketika beliau ditagih hutang beliau oleh seorang Yahudi yang sebenarnya hutang tersebut belum jatuh tempo pelunasan hutang (secara bahasa kata ‘mulia’ juga berarti terpuji sementara nama Nabi Muhammad sendiri berarti ‘terpuji’ yang berarti siapa saja yang menjalankan nilai-nilai mulia kemanusian dia adalah orang yang “Muhammad” atau orang yang terpuji, entah ia muslim atau tidak. Contoh tokoh yang non-muslim yang banyak dipuji dunia adalah Bunda Theresa dan Mahatma Gandhi. Mereka dipuji disebabkan kemulian hati mereka terhadap manusia). Orang Yahudi tersebut mendatangi majlis Nabi yang salah satu sahabat beliau Umar bin Khattab ada di situ. Dengan nada membentak keras, orang Yahudi tersebut menagih hutang: “Muhammad, mana pelunasan hutangmu. Aku minta engkau sekarang juga lunasi hutangmu!”. Umar bin Khattab langsung marah melihat Nabi diperlakukan secara kasar namun Nabi segera menenangkan beliau. Kata Nabi:” Tenang, Umar, tenang”. Nabi dengan tetap tersenyum dan berbahasa santun lalu melunasi hutang dan tanpa disadari oleh orang Yahudi tersebut beliau melebihkan uang sedikit sebagai tanda terima kasih beliau atas dihutangi olehnya. Melihat hal ini, orang tersebut berkata: “Wahai Nabi, jika seandainya engkau membalas ucapan saya dengan kasar dan engkau memperlakukan saya dengan semena-mena atas perbuatan saya sungguh saya sangat yakin engkau adalah pembual besar yang mengaku sebagai Nabi. Tapi kini saksikanlah saya bahwa saya menyakini tiada Tuhan selain Allah dan Engkau adalah Rasulnya”.
Luar biasa! Hanya dengan keramahan beliau orang tersebut menyakini kerasulan Muhammad bin Abdullah. Apa yang dicontohkan oleh beliau adalah satu dari aspek kecerdasan emosi dan spiritual. Tanpa banyak berkata sebagai bentuk dakwah, Nabi telah berhasil menarik hati orang tersebut menjadi percaya kepada beliau. Senyum, ramah, tenang dan ‘memberi lebih’ apa yang diminta telah menjadi begitu dahsyat efek yang ditimbulkan. Dan apa yang dilakukan oleh Nabi di atas: tetap senyum terhadap umat, ramah dalam berbicara, tenang menghadapi masalah dan memberi lebih ternyata telah menjadi ‘ilmu khusus’ yang diterapkan oleh beberapa perusahaan, seperti perhotelan. Penulis pernah bekerja di salah satu restoran Jepang di Hyatt Hotel Surabaya pada tahun 1990-1991 sebagai pelayan dan semua di atas tadi pernah penulis dapatkan dari salah satu supervisor penulis yang kebetulan beliau beragama non muslim. Supervisor tersebut mengatakan persis apa yang telah dipraktekkan oleh Nabi. Tentu saja apa yang penulis dapatkan dari supervisor menggunakan kata ‘pelayan restoran’ dan ‘memuaskan pelanggan’ (customer). Mungkin Anda berkata: “Ah, itukan Nabi. Mana mungkin kita manusia biasa mencontoh Nabi yang sempurna itu!”. Anda benar bahwa Nabi manusia yang sempurna secara emosional dan spiritual, tetapi Anda mungkin belum atau bahkan tidak pernah membaca sejarah hidup salah satu sahabat Nabi yang terdekat dengan beliau, Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab, dalam satu kisah, sedang duduk di bawah pohon kurma pada saat matahari lagi terik di kota Madinah. Tiba-tiba ada seorang beragama Yahudi datang dan menegur beliau: “Hei bung, saya dari Mesir dan ingin bertemu dengan khalifah. Di mana saya dapat bertemu dengannya?” Umar bin Khattab bertanya kepadanya: “Apakah Anda pernah bertemu dengannya sebelum ini?” Orang itu menjawab: “Belum”. Umar bin Khattab bertanya lagi: “Baik, kalau boleh saya tahu ada persoalan apa hingga Anda ingin bertemu dengannya?” Orang itu menjawab dengan ketus: “Ah, ini bukan persoalan Anda. Anda ini terlalu banyak bertanya. Memangnya Anda siapa sih?” Umar bin Khattab menjawab dengan tenang dan santun: “Saya adalah Umar bin Khattab, khalifah yang Anda cari”.
Pembaca yang budiman, mengapa orang Yahudi itu tidak mengetahui tanda-tanda khalifah di diri Umar bin Khattab? Dan mengapa pula Umar bin Khattab tetap ramah menghadapinya? Itulah kecerdasan Umar bin Khattab yang tidak menggunakan jubah mewah (atau jas dan dasi dalam bahasa kita) sebagai pertanda orang besar, tidak ada pengawal disamping beliau, tidak ada kendaraan istimewa di samping beliau dan beliau hanya menggunakan jubah yang itupun bertambal. Begitu sederhana pola hidup beliau!
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan kecerdasan beliau secara emosional dan spiritual bahwa publik (rakyatnya) masih ada yang hidup di bawah garis kemiskinan. Adalah tidak pantas bagi beliau untuk hidup “lebih” dari publiknya. Beliau ikhlas hidup seperti itu untuk memberi teladan bagi publiknya. Apabila ini diterapkan di sebuah perusahaan atau negara maka begitu indahnya hubungan antara pemimpin dan publiknya (karyawan/rakyat). Publik akan hidup sederhana sebab mereka melihat secara nyata kalau pemimpinnya hidup sederhana dan tidak memperkaya diri sendiri meski itu dengan cara yang halal. Dan Memang contoh yang baik selalu berawal dari pemimpinnya terlebih dahulu. Bagaimana pendapat Anda?

1 komentar:

James Ibrahim mengatakan...

bagus sekali, setuju